Apa itu Resiko Medik

Resiko Medik

Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada Resiko yang harus   dihadapi.   Satu-satunya   jalan   menghindari   Resiko   adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat diatas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidak sengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya.  Oleh  karena  itu,  untuk  mencegah  terjadinya  Resiko yang  tidak  diharapkan,  seorang  profesional  harus  selalu  berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi Resiko yang mungkin terjadi.
Suatu hasil yang tidak diharapkan terjadi di dalam praktik kedokteran     sebenarnya     dapat     disebabkan     oleh     beberapa
kemungkinan, yaitu :31

31Muhammad  Mulyohadi  Ali,  dkk,  2005.  Kemitraan  dalam  Hubungan  Dokter-Pasien.
Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta.


1.    Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan tindakan medik yang dilakukan dokter.
2.   Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu :

a.    Resiko     yang     tak     dapat     diketahui     sebelumnya (unforeseeable). Resiko seperti ini memungkinkan di dalam  ilmu  kedokteran  oleh  karena  sifat  ilmu  yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan terhadap pengaruh eksternal. Sebagai contoh adalah syok anafilaktik.
b.    Resiko  yang  meskipun  telah  di  ketahui  sebelumnya (foreseeable)  tetapi dianggap  dapat  diterima (acceptable),  dan  telah  diinformasikan  kepada  pasien dan telah disetujui oleh psien untuk dilakukan, yaitu :
1)    Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan, atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, pendarahan,  dan  enfeksi  pada  pembedahan,  dan lain-lain.
2)    Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medik   yang   beresiko   tersebut   harus   dilakukan karena  merupakan  satu-satunya  cara  yang  harus ditempuh  (the  only  way)  terutama  dalam  keadaan gawat darurat.

Di Indonesia, pengertian resiko medik tidak dirumuskan secara eksplisit   dalam   perundang-undangan   yang   ada.   Namun   secara tersirat, resiko medik disebutkan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut :
1.    Informed  Consent    atau  sering  disebut  sebagai  tindakan     medik,    adalah suatu dokumen tertulis yang ditanda-tangani oleh pasien, yang mengizinkan suatu tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan tindakan medik baru mempunyai arti hukum bila ditanda-tangani sesudah pasien mendapat informasi     lengkap     mengenai     tindakan     yang     akan dikerjakan32.

Dokumen ini selain dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien. Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, di dalam informed consent tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut dikemudian hari. Syarat yang dimaksud antara lain menyatakan    bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas segala Resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan jika dalam tindakan ini terjadi  sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien tidak akan melakukan tuntutan apapun kepengadilan di kemudian hari.


32Bahar Azwar, 2002. Buku Pintar Pasien, Sang Dokter. Penerbit Kesaint Blanc, Bekasi, hlm. 65

Selain itu untuk memenuhi kewajiban memberi informasi, maka dicantumkan pula pernyataan dari dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan sifat, tujuan, serta kemungkinan (Resiko) akibat yang timbul akibat tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Dengan demikian, dokter yang bersangkutan juga menandatangani formulir persetujuan tindakan medik termaksud. Jika psien menolak dilakukannya suatu tindakan medik tertentu maka pasien  dan  keluarganya  diwajibkan  untuk  mengisi  Surat
Pernyataan Penolakan33.

2.  Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang no.

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran :

a.  Setiap  tindakan  kedokteran  atau  kedokteran  gigi  yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan;
b.  Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
diberikan  setelah  pasien  mendapat  penjelasan  secara lengkap;


33Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 172.


c. Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang- kurangnya mencakup :
1)  Diagnosis dan tata cara tindakan medik;

2)  Tujuan tindakan medik yang dilakukan;

3)  Alternatif tindakan lain dan Resikonya;

4)  Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

5)  Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

d.    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan;
e.    Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung Resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.
3.   Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

585/Men.Kes/Per/IX/1989   Tentang   Persetujuan   Tindakan

Medik :

a.    Pasal 2 ayat (3)   : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta Resiko yang dapat ditimbulkannya.
b.    Pasal 3 ayat (1) :  Setiap   tindakan   medik   yang mengandung  Resiko  tinggi  harus  dengan  persetujuan


tertulis    yang    ditandantangani    oleh    yang    hendak memberikan persetujuan.
c.    Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
4.   Pernyataan  Pengurus  Ikatan  Dokter  Indonesia  (PB  IDI)

tentang Informed Consent

PB IDI   dalam Surat Keputusannya Nomor 319/PB/A.4/88 butir (3) menyebutkan : “Setiap tindakan medik yang mengandung Resiko cukup besar mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu telah memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta Resiko yang berkaitan dengannya (Inform consent)”. Anny   Isfandyarie   menyebutkan   beberapa   hal   yang   berkitan dengan Resiko medik, yaitu34 :
1.    Bahwa  dalam  tindakan  medik  selalu  ada  kemungkinan (Resiko)  yang  dapat  terjadi  yang  mungkin  tidak  sesuai dengan harapan pasien. Ketidakmengertian pasien terhadap Resiko yang dihadapinya dapat menyebabkan diajukannya
tuntutan ke pengadilan oleh pasien tersebut.





34Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Buku I.
Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm. 4.


2.    Bahwa    dalam    tindakan    medik    ada    tindakan    yang mengandung Resiko tinggi.
3.    Bahwa Resiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.
World  Medical  Association  Statement on  Medical Malpractice, yang diadaptasi dari World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang dikutip oleh Herkutanto35,  menyebutkan  bahwa  resiko  medik  atau  yang  lazim  disebut sebagai untoward result adalah “suatu kejadian karena suatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya” (An injury occuring in the course of medical treatment which couldn’t be foressen and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the physician shouldn’t bear any liability). Setiap tindakan medik selalu mengandung Resiko, sekecil apapun tindakannya tetap saja menimbulkan resiko yang besar sehingga pasien menderita  kerugian.  Dalam  hal  terjadinya  Resiko,  baik  yang dapat  diprediksi  maupun  yang  tidak  dapat  diprediksi,  maka
dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.


35Herkutanto, 2008. Dimensi Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran, Makassar 26-27 Januari 2008. Proceeding. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Makassar.


Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau assumption of risk. Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya kedalam suatu bahaya (Resiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila Resiko itu benar- benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawabn seseorang   karena   Resiko   terjadi   bukan   karena   kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila Resiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.

Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi