Pengertian dekonstruksi



Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut, secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan.





Dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.




Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.




Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.




2.2 Sejarah Dekonstruksi




Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.




Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale.




2.3 Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi




Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis.




Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Tokoh selanjutnya adalah Nietzsche.




Paham dekonstruksi kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J. Hillis Miller, bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak mempunyai pandangan yang tunggal, juga dalam praktik mendekati (baca: mengkaji) karya sastra, walau tentu saja juga mempunyai unsur-unsur kesamaan. Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan filsafat. Menurut Derrida, teori Saussure. yang memandang adanya keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifier, signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak pernah ada.




2.4 Karakteristik Kajian Dekonstruksi




Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks, tetapi pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa ‘bahasa’ teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan, melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian mereka tegaskan. Teks membangun kenyataan.




Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.




Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan sia-sia. Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal dari struktur kemudian menambah ‘kekuatan’ makna berdasarkan struktur tersebut. ‘kekuatan’ yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.




Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra. Tahapan penelitian dekonstruksi :




(1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, satu unsurpun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.




(2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan antar semua unsur (Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (Jaringan X dan Y).




Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertututup kemungkinan sebuah teks sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan yang paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.




Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam Pradopo (2007) memandang bahwa teks sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan antara pleasure (kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss (kebahagiaan). Misalkan saja saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan melibatkan dua kenikmatan tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai kenikmatan. Hal ini berarti bahwa ‘makna’ sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.




Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu berlebih-lebihan karena sering memotong hubungan antara teks sastra yang harus dipandang dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat perlu memandang dan mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.




Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran penelitian dekonstruksi merupakan estafet dari studi sastra sebelumnya. Paham dekonstruksi ini tampaknya memang belum mendapatkan angin segar dalam perkembangannya. Namun, sebagai sebuah sisi pandang penelitian, peneliti sastra sulit meninggalkan paham ini. Paham ini sekaligus menjadi koreksi terhadap teori penelitian sastra sebelumnya. Paling tidak, asumsi yang struktural atau yang lain yang selalu mendewakan teks secara otonom, harus patah dengan sekonstruksi.




2.5 Membaca dekonstruksi




Pembacaan karya sastra menurut paham dekonstruksi tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan, sebab sekali lagi tak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruktif bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang dibaca. Unsur atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang ‘tidak penting’ dilacak dan kemudian ‘dipentingkan’, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat (atau: menonjol) perannya dalam karya yang bersangkutan. Misalnhya, seorang tokoh cerita yang tidak penting berhubung hanya sebagai tokoh periferal, tokoh (kelompok) pinggiran saja, setelah didekonstruksi ia menjadi tokoh yang penting, yang memiliki (fungsi dan makna) yang menonjol sehingga tak dapat ditinggalkan begitu saja dalam memaknai karya itu.




Cara pembacaan dekonstruksi, oleh Levy-Strauss dipandang sebagai sebuah pembacaan kembar, double reading. Disatu pihak terdapat adanya makna (semu, maya, pura-pura) yang ditawarkan, di lain pihak dengan menerapkan prinsip dekonstruksi dapat dilacak adanya makna kontradiktif, makna ironis. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa setiap teks mengandung suatu aporia-sesuatu yang justru menumbangkan landasan dan koherensinya sendiri, menggugurkan makna yang pasti ke dalam ketidakmenentuan. Tiap teks, menurut Derrida, akan mendekonstruksi dirinya sendiri namun sekaligus juga didekonstruksi dan mendekonstruksi teks-teks yang lain. dengan demikian, paham dekonstruksi tersebut dapat dikaitkan dengan (atau: ada kaitannya) dengan paham intertekstualnya. Ada atau tidaknya kaitan antar teks sebenarnya, pembacalah yang menentukannya. Paham dekonstruksi oleh karenanya ada kaitannya dengan teori resepsi, khususnya teori resepsi yang dikembangkan oleh Jausz. Dalam mendekonstruksi sebuah teks, Jausz mempertimbangkan aspek historisnya, yaitu yang berupa tanggapan pembaca dari masa ke masa yang sering menunjukkan adanya perbedaan. Misalnya, tanggapan orang terhadap Rahwana Putih dan puisi-puisi Chairil Anwar pada masa awal kemunculannya dahulu terlihat negatif, namun dewasa ini siapakah yang meragukan karya-karya itu sebagai karya yang berhasil.

Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi