Antara Sebuah Kelahiran dengan Rejeki

Tags:
Oleh S. Bekti Istiyanto, S.Sos

Setiap orang tua pasti berharap dianugerahi keturunan. Karena bagaimanapun, terciptanya anak-anak merupakan salah satu tujuan perkawinan. Kalau saja setelah sekian tahun perkawinan dan belum berputra seringkali para orang tua dihinggapi perasaan was-was dan berusaha sekuat tenaga –bahkan segala cara yang dianggap baik tentu- untuk bisa berketurunan. Maka sungguh aneh jika ada pasangan orang tua yang justru menunda kelahiran anaknya sedangkan pada kondisi yang lain, banyak sekali orang tua yang telah menikah lebih dari tiga bahkan lima tahun yang belum diberi keturunan. Semoga Allah menguatkan kesabaran dan memberikan keturunan seperti yang mereka harapkan. Amin.

Menjadi seorang ayah buat saya merupakan sebuah kejadian yang beraneka rasa dalam hati. Ada rasa syukur akan diberi amanah baru, sedikit panik atau mungkin sedikit ketakutan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ketidak tenangan karena proses menunggu, keharuan yang mendalam bahkan sampai memunculkan tangis, kesedihan melihat penderitaan istri dan selalu berharap kalau saja bisa sedikit dibagi penderitaan itu kepada kita para suami, kebanggaan karena akan menjadi ayah (lagi) dan mungkin segala rasa lain yang sulit terungkap lewat tulisan ini. Saya tahu, kunci melewati semua ini tentu saja dibutuhkan keikhlasan dan ketawakalan yang penuh kepada Allah, namun sebagai manusia biasa tentu munculnya hal-hal tersebut adalah sebuah kewajaran.

Setiap lahirnya anak saya, terasa sekali perbedaan kenangan dan kesan yang muncul. Masing-masing membawa ‘cerita’ yang mampu mengembalikan betapa kekuasaan Allah sangatlah besar dari tiap kejadian sebuah proses kelahiran anak saya. Kelahiran pertama diwarnai dengan banyak pembelajaran dan pencerahan buat saya dan istri. Dengan kondisi kami berdua yang seadanya, istri masih kuliah dan masih sedikitnya ma’isyah yang kami dapatkan, ternyata kami mendapat banyak rejeki lain dari Allah. .Alhamdulillah, sebelum kelahiran kami termasuk yang mendapat hadiah periksa dokter kandungan dan USG gratis waktu itu, karena kehamilan anak pertama di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Hamilnya istri juga disambut dengan luapan tangis kebahagiaan masing-masing dua orang tua kami karena kebetulan hamilnya istri tersebut merupakan calon cucu pertama keluarga besar kami. Bahkan, orang tua istri sampai empat bulan kehamilan istri saya mengkhususkan berdoa semoga diberi keturunan perempuan sebagai anak pertama kami dan sekaligus cucu pertama mereka.

Ujian itu muncul ketika hitungan dokter dan bidan tentang waktu lahir ternyata lebih dari perkiraan normal 9 bulan 10 hari sejak haid terakhir istri saya. Bahkan kami sempat menghitung waktu hamil tersebut sampai lebih dari 10 bulan. Terakhir kami periksa ke dokter kandungan dan disarankan untuk segera dilahirkan karena kalau terlalu lama akan menimbulkan kesulitan dan masalah baru, apalagi berat badan istri naik sampai 20 kg. Atas saran itu, kami akhirnya memilih melahirkan di bidan terdekat saja. Disinilah ujian itu terasa, proses melahirkan diwarnai mulas yang amat sangat diringi muntah dan tidak mau makannya istri saya. Di kamar bersalin sendiri, dari masuk jam 17.30-23.00 WIB diakhiri dengan tidak kuatnya istri saya karena kehabisan tenaga. Melihat itu, saya justru diminta tidak berada di dalam ruang itu oleh mertua dan disuruh agar memperbanyak doa dan tilawah Qur’an saja tanpa harus menunggui secara langsung. Padahal menunggui kelahiran ini telah saya nantikan sejak mendapat kabar hamilnya istri saya. Saya selalu membayangkan berada di samping istri dan menyaksikan langsung lahirnya buah hati kami dalam proses menjadi seorang ayah yang pertama kali. Puncaknya ketika bidan menyerah karena air ketuban sudah lama pecah tapi belum juga keluar bayi kami. Akhirnya, diputuskan untuk dibawa ke rumah sakit dan segera diambil tindakan secepatnya. Malam itu diringi gerimis akhir bulan Desember 1997, di kota sekecil Sumedang jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mendapatkan mobil pinjaman, tapi sekali lagi Allah adalah Maha Memudahkan segala urusan. Begitu urusan mobil diselesaikan dan sambil menunggu sebuah operasi caesar seorang ibu yang mendahului kami masuk rumah sakit, lahirlah bayi putri calon jundiyah pertama kami sebesar 3,7 kg yang kami beri nama Rumaisha Hanifah Mubarakah. Mengambil ibrah sahabiyah Ummu Sulaim yang lurus memegang aqidah bahkan menjadikan dasar keIslaman sebagai mahar pernikahannya. Rejeki lain yang diberikan Allah secara langsung adalah diterimanya saya sebagai dosen di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Sehingga orang tua saya sering menyebut sebagai rejeki anak, maka tidak boleh nantinya saya mengabaikan Hani –begitu biasa dipanggil- anak kami yang pertama. Naudzubillah.

Kelahiran anak kedua saya pada bulan Juli 2000 berbeda dengan yang pertama, bahkan bisa dikatakan sangat mudah. Saya sendiri sedang membina pengajian mahasiswa di rumah saat istri merasakan mulas. Biasanya pengajian selesai kurang lebih jam 23.00 WIB tapi karena dari kamar istri sudah memberi tanda, akhirnya diselesaikan jam 21.30 WIB. Begitu tiba di bidan tidak sampai setengah jam lahirlah anak kedua seorang calon mujahid dengan berat 3,5 kg yang kami beri nama Abdurrahman Al Fayyad Mubarak mengambil ibrah kedermawanan Abdurrahman bin Auf sahabat Nabi yang termasuk 10 orang dijanjikan masuk surga sekaligus seorang konglomerat Islam yang terkenal. Rejeki yang nyata-nyata besar dirasakan adalah saat kehamilan istri sempat mendambakan sebuah tanah kecil yang bisa ditempati atas nama sendiri tidak harus menjadi kontraktor terus. Ternyata menjelang kelahiran kami bukan hanya sekadar mendapat tanah kecil tapi sekaligus rumah yang kami oper kredit sendiri di sebuah perumahan terletak persis di depan kampus tempat saya kerja. Tentu saja tidak ada hal lain yang kami lakukan kecuali mensyukurinya. Allah memang sungguh-sungguh kaya.

Proses menunggui kelahiran ketiga, kami merasa sudah mendapat pengalaman yang berharga bagaimana mempersiapkan sebuah kelahiran. Meskipun begitu tetap saja proses kelahiran adalah sebuah aktifitas yang mendebarkan hati, sebuah sport jantung tersendiri. Bagaimana tidak, saat tepatnya hari perkiraan lahir (HPL) justru belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Sehingga saya masih tetap tenang saja melakukan aktifitas kampus dan dakwah seperti biasa. Bahkan saat siang hari kurang lebih jam 14.00 WIB bulan Juni lalu, tetangga menelepon kalau istri sudah mulas-mulas, saya malah sadang berbelanja peralatan untuk laboratorium komunikasi grafis bersama asisten lab jurusan. Segera tentengan belanjaan peralatan itu saya titipkan dan koordinasi kecil dengan tetangga langsung dilakukan, karena nggak mungkin kami bawa ke bidan dengan membawa anak-anak kami yang lain.

Ternyata proses sulitnya melahirkan kembali terjadi. Menurut bidan, ini disebabkan besarnya sang bayi. Kami bahkan dibantu dengan tiga orang bidan untuk mendorong lahirnya bayi kami tersebut. Akhirnya, dengan berat 4,5 kg –sebuah berat yang sangat besar untuk ukuran bayi normal- saya bisa menunggui dan menjadi saksi lahirnya kembali seorang calon mujahid kami yang ketiga, yang kemudian diberi nama Abdullah Al Asad Mubarak yang kami harap menjadi singa dalam jihad fi sabilillah dari ibrah sahabat Abdullah ibnu Rawahah dan Abdullah ibnu Zubeir dan dalam menjaga Al Qur’an seperti sahabat Abdullah ibnu Mas’ud. Amin. Lahirnya jundi kami ketiga ini dibarengi dengan banyaknya rejeki yang dulu tidak kami bayangkan untuk mempunyai. Banyak tamu dan saudara yang memberi hadiah yang hampir-hampir susah untuk dibalas kecuali sebuah doa tulus atas pemberian mereka. Kami dianugerahi rejeki Allah lewat tangan-tangan mereka dengan bentuk mesin cuci, lemari, kasur plus dipannya dan sekian peralatan bayi yang sangat lengkap. Sekali lagi tidak ada kata lain kecuali bersyukur dan memanjatkan doa semoga mereka dilipat gandakan rejekinya oleh Allah.

Menunggui proses kelahiran anak-anak ternyata membawa sebuah nilai ruhiyah yang sangat dalam untuk jiwa saya. Terkumpul disana sebuah keikhlasan, ketawakalan dan rasa syukur yang tertuju lebih kepada Allah. Orang bilang inilah sebuah kesejatian yang paling nyata dalam menjadi seorang ayah. Saya yakin, ini bukanlah sebuah akhir dari kesejatian tapi justru sebagai langkah awal kesejatian itu sendiri. Karena menurut saya, kesejatian murni seorang ayah bukanlah diukur dengan bisa sekadar punya anak atau tidak, tapi harus ditandai dengan pemahaman dan tanggung jawab akan masalah-masalah yang muncul setelahnya, seperti : pendidikan, perawatan, perhatian dan kasih sayang serta pemenuhan hak-hak anak secara utuh sesuai dengan aturan Allah. Karena sekali lagi anak sebenarnya adalah titipan amanah bahkan ujian dariNya.

Akhirnya, saya selalu berdoa dan terus berusaha agar bisa selalu menjadi ayah yang baik buat anak-anak saya, bukan hanya sekadar konsep tapi juga untuk menjadi teladan. Meskipun seringkali kuantitas pertemuan itu tidaklah mudah dimanagenya dengan sekian aktifitas dan beban yang saya sandang selama ini. Saya anggap ini adalah sebuah janji dari hati yang terdalam. Ya Allah, kuatkanlah kami semua dengan amanah anak-anak kami yang Engkau berikan dan janganlah itu menjadi keburukan yang akan menjadi fitnah di hadapanMu kelak. Ya Allah, limpahkanlah kami kesabaran yang tak terbatas dan pemahaman yang mendalam untuk menjadikan amanahMu, anak-anak kami agar menjadi kebanggaan kami orang tuanya di akhiratMu nanti. Masukkanlah kami semua sebagai keluarga orang-orang yang sholeh, yang istiqomah, yang ikhlas dan berjihad di jalanMu sampai kematian kami menjemput, Ya Allah, karena kami yakin Engkaulah Maha Pengabul segala doa. Amin ya rabbal ‘alamin

====

Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi