Defenisi obat generik dan obat paten.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten. Penemuan obat paten memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal, sekitar 900 juta dollar AS sampai 1,8 miliar dollar AS. Jadi, wajar bila obat paten memasang harga yang "aduhai".

Ada beberapa alasan yang menyebabkan obat paten menjadi mahal :
Obat paten melalui proses penemuan dan pengembangan dari banyak tahap. Berawal dari proses penemuan obat (sintesis, skrining), dilanjutkan dengan uji preklinik, uji klinik, persetujuan otoritas regulatori dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Food and Drug Administration, dan terakhir proses pemasarannya.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan itu 12-15 tahun. Contohnya, untuk melakukan uji klinis saja dibutuhkan waktu lebih kurang 10 tahun (6-7 tahun) dan menghabiskan 60 persen dari seluruh biaya pengembangan sehingga sisa waktu yang dimiliki perusahaan farmasi untuk mengedarkan obat tersebut terbilang singkat, yaitu kurang dari 5 tahun. Status obat paten dapat diperpanjang jika, misalnya, dilakukan studi pada anak. Itu pun tambahan waktunya hanya selama 6 bulan.

Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya pun kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk. Meskipun masa patennya sudah selesai, merk dagang dari obat yang dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap menjadi milik perusahaan yang dulunya memiliki paten atas obat tersebut. Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan ´obat paten´ yang ditulis oleh media massa untuk membandingkan dengan obat generik sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai ´obat bermerek´. Penggunaan istilah ´obat paten´ adalah salah karena patennya sendiri sudah selesai dan tidak berlaku lagi.

Sebagai contoh perusahaan farmasi Pfizer memiliki hak paten atas produk Norvask®, sebuah obat anti hipertensi. Paten ini baru akan kadaluwarsa pada bulan September 2007. Karena paten ini, tidak ada obat lain dengan kandungan yang sama di negara-negara yang mengakui paten ini. Jika ada, maka itu merupakan kerjasama khusus dengan Pfizer. Setelah bulan September nanti, paten ini akan kadaluwarsa dan perusahaan-perusahaan farmasi lain baru akan dapat memproduksi obat dengan kandungan yang sama. Walaupun demikian, perusahaan-perusahaan lain tersebut tidak dapat menggunakan merk dagang Norvask® yang tetap menjadi hak milik eksklusif Pfizer. Perusahaan-perusahaan ini dapat menggunakan nama generik Amlodipine atau menggunakan merk sendiri. Obat-obatan yang menggunakan nama generik ini kita sebut sebagai ´obat generik´, sedangkan Pfizer akan tetap dapat terus memproduksi Norvask® yang lebih tepat jika kita sebut dengan ´obat bermerek´.

Tak hanya menjadi obat bermerek, setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian juga dapat disebut sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk (branded generic). Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. "Bedanya, yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo" ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

dr. Marius Widjajarta, SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengungkapkan bahwa di Indonesia lebih banyak obat bermerk dibandingkan obat generik.

B. Sejarah obat generik

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.

Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan.

Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.





C. Permasalahan yang terjadi pada obat generik.

Farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Iwan Dwi Prahasto menyatakan banyak keanehan pada harga obat di Indonesia. "Harga obat bermerk bisa sama dengan harga obat paten, bahkan bisa 50-60 kali lebih mahal dari obat generik," katanya dalam diskusi obat di Hotel Santika, Senin (2/3). Padahal, lanjut Iwan, seharusnya obat bermerk yang diproduksi setelah masa paten habis (15-20 tahun), harganya bisa 60 persen lebih murah, karena sudah tidak perlu membayar paten.

Sayangnya fakta di lapangan, obat generik yang berbahan baku sama dengan obat bermerk, tidak laku dan ketersediaannya di lapangan masih sulit. "Pemerintah hanya mampu mengeluarkan peraturan menteri, tapi tak bernyali menghadapi industri farmasi," ujarnya. Menurut Iwan, obat generik hanya memiliki taring di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat, tapi tidak bergigi di rumah sakit pemerintah apalagi rumah sakit swasta.

"Herannya industri farmasi justru memproduksi obat yang sama dengan harga bisa 7 kali lipat," kata Iwan. Ia mencontohkan ada obat generik yang dijual seharga Rp 350, tapi industri farmasi bisa mencapai Rp 22.500, dengan bahan baku obat yang sama. Situasi ini diperparah dengan sikap tenaga medis. "Dokter lebih senang meresepkan obat bermerk, ini bukan rahasia lagi, " ujarnya. "Ada insentif tak kasat mata di balik peresepan tersebut."

Dari riset di atas, kita dapat mengetahui bahwa obat generik tidak laku dan sulit di dapatkan. Akan tetapi, mengapa oabat generik tidak laku dan susah didapatkan? Mari kita lihat riset lainnya.

Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surakarta menilai dominasi penggunaan obat paten yang ada di masyarakat kota Solo sulit ditandingi oleh obat generik yang sejauh ini persentase pemakainya baru sekitar 10-20%. Pemerintah kota (pemkot) Solo menyarankan agar masyarakat tidak ragu meninggalkan obat paten sebab harga mahal tak menjamin kualitas bagus.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Solo, Siti Wahyuningsih, mengatakan, banyak hal yang memengaruhi rendahnya penggunaan obat generik, antara lain faktor bisnis. “Pertimbangan bisnis terlalu dominan, sehingga banyak rumah sakit dan dokter yang merekomendasikan pasien membeli obat paten. Padahal dokter atau apotik yang mempunyai kewajiban, sementara masyarakat yang punya hak. Jadi seharusnya dokter atau apotek tidak bisa menolak,” ujarnya.

Padahal, seorang dokter pasti paham tentang obat dan seharusnya menyarankan pasien menggunakan obat generik. “Tapi kan tidak semua dokter seperti itu. Ya karena itu tadi (pertimbangan bisnis). Lihat saja sekarang ini banyak sekali merek obat padahal jenisnya sama. Ya seperti halnya rokok,” lanjutnya.

Kecenderungan menggunakan obat paten seperti itu bahkan juga dilakukan oleh rumah sakit pemerintah, yang seharusnya menggunakan obat generik selama obat itu ada. Namun kenyataannya, hingga sekarang masih ada yang tidak tertib dalam memberikan laporan penggunaan obat. “Untuk swasta memang kami tidak bisa mengaturnya,” paparnya.

Selain itu, paradigma masyarakat yang menganggap obat generik kalah mutu semakin menguatkan posisi obat paten. “Padahal belum tentu obat paten yang harganya mahal itu lebih baik. Obat paten harganya mahal karena dikemas lebih baik. Harga pengemasan itu kan sendiri juga sudah mahal. Sedangkan obat generik mendapat subsidi,” terangnya.

Dari riset diatas, dapat kita ketahui bahwa obat generik sulit didapatkan karena memang doternya sendiri yang tidak mau menuliskan resep berupa obat generik untuk pasien. Bukan hanya dokter, tetapi rumah sakit dan apotok pun tidak memberikan pilihan kepada pasien untuk memilih obat, apakah pasien ingin obat paten ataukah obat generik. Hal ini sangat bertentangan dengan hak-hak seorang pasien. Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:

1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.

2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.

3. Hak untuk ganti rugi.

4. Hak untuk memilih.

5. Hak untuk didengar.

6. Hak untuk mendapatkan advokasi.

7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.

Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.

Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan bahwa pasien pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.

Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa ‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik, ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen konsumen dalam memilih pengobatan.

Selain hal diatas, obat generik tidak laku atau kalah bersaing dengan obat paten karena adanya persepsi dari masyarakat bahwa obat generik kalah mutu dibandingkan obat paten. Padahal jelas-jelas, kandungan obat generik sama persis dengan kandungan obat paten. Mengapa? Karena sesuai dengan definisi obat generik tadi, bahwa obat generik dibuat dari obat paten yang telah habis masa patennya.

Padahal, kualitas obat genrik itu dijamin oleh pemerintah. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Selain itu, uji BA/BE disiapkan untuk menghadapai harmonisasi bidang farmasi ASEAN 2008 mendatang.

Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut, rektal/dubur, transdermal/kulit).

Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate (kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.

Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan menjadi tidak adanya perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat.

Masalah lain kenapa obat generik susah untuk didapatkan adalah karena tidak tersedianya obat generik tersebut di pasaran. Sekitar 18 persen atau lebih dari 80 item obat generik tidak tersedia di pasar sehingga terjadi kekosongan obat di unit-unit pelayanan kesehatan, terutama di kawasan Indonesia Timur dan Nanggroe Aceh Darussalam. Kekosongan terjadi sejak setahun lalu.

Obat yang tidak tersedia itu sebagai besar merupakan obat yang paling dibutuhkan masyarakat (fast moving) dan obat untuk menyelamatkan nyawa (life saving), seperti antibiotik, cairan infus, serta obat sirup anak- anak. Kekosongan obat tersebut memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan.

Kendala penyediaan obat itu, antara lain, disebabkan biaya distribusi yang tinggi untuk wilayah Indonesia timur dan Indonesia tengah sehingga produsen enggan mendistribusikannya. Lebih dari 98 persen industri farmasi berada di Pulau Jawa dan beberapa di Sumatera.

D. Solusi dari permasalahan obat generik.

Permasalahan obat generik bukanlah permasalahan yang sepele. Akan tetapi, dengan mempelajari kasus-kasus dan hasil riset tentang permasalahn obat generik, mulai dari kalah saingnya obat generik dengan obat paten yang membuat obat generik tidak laku, sulitnya mendapatkan obat generik karena “urusan bisnis” di dunia medis dan farmasi, persepsi masyarakat tentang rendahnya mutu obat generik sampai tak tersedianya obat generik di pasaran, penulis dapat member beberapa solusi sederhana agar obat generik tersebut mempunyai “gigi”, bahkan “taring” untuk bersaing di pasaran dan kembali menjadi “sang malaikat” di dunia kesehatan. Solusi tersebut adalah:

1. Memberikan sanksi yang tegas kepada para dokter, apoteker dan rumah sakit “yang nakal” terkait kode etik mereka untuk menolong pasien dan terkait hak-hak pasien itu sendiri. Sanksi dapat berupa pencabutan sementara izin untuk praktek bagi dokter dan apoteker dan sanksi berupa denda bagi rumah sakit.

2. Memberikan penyuluhan dan pengarahan yang tepat kepada masyarakat, sehingga tidak ada lagi salah persepsi tentang mutu obat generik. Penyuluhan dapat berupa iklan di media cetak atau elektronik. Hal ini juga dapat membuat obat generik tak kalah populer dibanding obat paten.

3. Merevisi kembali peredaran dan distribusi dari obat generik, apalagi obat-obatan yang sangat diperlukan di dunia medis.

Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi