Pengertian Model Pembelajaran


Model pembelajaran adalah pola atau rencana yang dapat digunakan untuk mengoperasikan kurikulum. Merancang materi pembelajaran, dan untuk membimbing belajar dalam setting kelas atau lainnya.

2.1.1    Macam-macam model pembelajaran
A.    Model pembelajaran CL (Cooperative Learning )
Pembelajaran cooperative Learning adalah konsep yang lebih luas meliputi semua  jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Teori konstruktivisme sosial Vygotsky telah meletakkan arti penting model pembelajaran kooperatif. Konstruktivisme sosial Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan dikonstruksi secara mutual. Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Vigotsky menekankan peserta didik mengonstruksi pengetahuan dengan mentransformasikan, mengorganisasikan dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi pengetahuan dipengaruhi oleh kultur dimana peserta didik tinggal. Kultur itu meliputi bahasa, keyakinan, keahlian/keterampilan.
Dukungan lain dari teori Vygotsky terhadap model pembelajaran kooperatif adalah arti penting belajar kelompok. Chaplin mendefinisikan kelompok sebagai “a collection of individuals who have some characteristic in common or who are pursuing a common goal. Two or more persons who interact in any way constitute a group. It is not necessary, however, for the members of a group to interact directly or in face to face manner”.
Berdasarkan pengertian diatas dikemukakan bahwa kelompok itu dapat terdiri dari dua orang saja atau lebih. Menurut Shaw satu ciri yang dipunyai oleh semua kelompok yaitu anggotanya saling berinteraksi, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Interaksi adalah saling mempengaruhi, individu satu dengan individu yang lain. Tujuan dalam kelompok dapat bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Tujuan intrinsik adalah tujuan yang didasarkan pada alasan bahwa dalam kelompok perasaan menjadi senang. Tujuan ekstrinsik adalah tujuan yang didasarkan bahwa untuk mencapai sesuatu tidak dapat dicapai sendiri, melainkan harus dikerjakan bersama-sama. Struktur kelompok menunjukkan bahwa dalam kelompok diperlukan peran semua anggota.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa  tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang optimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:

1)    Positive interdependence (saling ketergantungan positif)
Unsur pertama pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan ada bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggung jawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

2)    Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
Unsur kedua pembelajaran kooperatif adalah tanggung jawab individual. Beberapa cara menumbuhkan tanggung jawab perseorangan adalah:
a.    Kelompok belajar jangan terlalu besar
b.    Melakukan assesmen terhadap siswa
c.    Memberi tugas kepada siswa untuk mempresentasikan hasil kelompok di depan kelas
d.    Mengamati setiap kelompokdan mencatat frekuensi individu dalam membantu kelompok
e.    Menugasi seorang peserta didik sebagai pemeriksa di kelompoknya
f.    Menugasi peserta didik mengajar temannya.

3)    Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif.

4)    Interpersonal skill (komunikasi antar anggota)
Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial.

5)    Group processing (pemrosesan kelompok)
Unsur kelima adalah pemrosesan kelompok. Pemrosesan mengandung arti menilai.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.

•    Macam-macam Metode Pembelajaran Cooperative Learning :   
a.    Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson, dkk. Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut :
“ Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggotakelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan  tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah  satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG).”
Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal.  Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji).
Contoh pembentukan kelompok jigsaw sebagai berikut:
Misal suatu kelas dengan jumlah siswa 40, dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh dalam diskusi di kelompok ahli serta  setiap siswa menyampaikan  apa yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual. Guru memberikan  penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini). Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
b.    Numbered Heads Together (NHT)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen  (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap  materi pembelajaran.
Langkah-langkah penerapan NHT:
1.    Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2.    Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkanskor dasar atau awal.
3.    Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
4.    Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
5.    Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satunomor(nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok.
6.    Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
7.    Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual .
8.    Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui  skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skordasar ke skor kuis berikutnya(terkini).

c.    Group Investigation
Dalam grup investigation para murid bekerja melalui 6 tahap :
1.    Mengidentifikasikan topik dan mengatur murid kedalam kelompok.
    Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah topik dan mengkatagorikan saran-saran.
    Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari topik yang mereka pilih.
    Komposisi kelompok berdasarkan pada ketertarikan siswa dan harus bersifat heterogen.
    Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan memfasilitasi pengaturan.

2.    Merencanakan tugas yang ingin dipelajari.
Para siswa merencanakan bersama mengenai :
    Apa yang kita pelajari?
    Bagaimana kita mempelajarinya?
    Siapa melakukan apa? (pembagian tugas)
    Untuk kepentingan apa kita menginvestigasi topik ini?

3.    Melaksanakan investigasi.
    Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.
    Tiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya.
    Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mensistesis semua gagasan.

4.    Menyiapkan laporan akhir.
    Anggota kelompok menentukan pesan-pesan, esensial dari proyek mereka.
    Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka.
    Wakil-wakil kelompok membentuk sebuah panitia acara untuk mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi

5.    Mempresentasikan laporan akhir
    Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai macam bentuk.
    Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan pendengarnya secara aktif.
    Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas.

6.    Evaluasi
Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik tersebut, mengenai tugas yang telah mereka kerjakan, mengenai keefektifan, pengalaman-pengalaman mereka.
    Guru dan murid bekolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa.
    Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi.

d.    Two Stay Two Stray
Model pembelajaran Two Stay Two Stray / Dua Tinggal Dua Tamu merupakan model pembelajaran yang memberi  kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling mengunjungi/bertamu antar kelompok untuk berbagi informasi.
Langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut :
1.    Siswa bekerja sama dalam kelompok yang berjumlah 4 (empat) orang.
2.    Setelah selesai, dua orang dari masing-masing menjadi tamu kedua kelompok yang lain.
3.    Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka.
4.    Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
5.    Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.
6.    Kesimpulan.

e.    Make a Match
Teknik metode pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Langkah-langkah penerapan metode make a match sebagai berikut:
1.    Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2.    Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.
3.    Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
4.    Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu yang bertuliskan nama tumbuhan dalam bahasa Indonesia akan berpasangan dengan nama tumbuhan dalam bahasa latin (ilmiah).
5.    Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
6.    Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan hukuman, yang telah disepakati bersama.
7.    Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
8.    Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok.
9.    Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.

f.    Listening Team
Pembelajaran diawali dengan pemaparan materi pembelajaran oleh guru. Selanjutnya guru membagi kelas menjadi kelompok –kelompok, setiap kelompok mempunyai peran masing-masing. Kelompok pertama merupakan kelompok penanya, kelompok kedua merupakan kumpulan orang yang menjawab berdasarkan perspektif tertentu, kelompok ketiga kumpulan orang yang menjawab dengan perspektif yang berbeda dengan kelompok kedua dan kelompok keempat adalah kelompok yang bertugas mereview dan membuat kesimpulan dari hasil diskusi. Pembelajaran diakhiri dengan penyampaian kata kunci atau konsep yang telah dikembangkan oleh peserta didik dalam berdiskusi.

g.    Inside-Outside Circle
Pembelajaran inside-outside circle diawali dengan pembentukan kelompok. Satu kelas dibagi menjadi dua kelompok besar yang terdiri dari dua kelompok lingkaran dalam dan kelompok lingkaran luar. Anggota kelompok lingkaran dalam berdiri melingkar menghadap keluar dan anggota kelompok lingkaran luar berdiri menghadap kedalam sehingga saling berpasangan dan berhadap-hadapan. Kelompok ini disebut sebagai kelompok pasangan asal. Kemudian berikan tugas.

h.    The Power of  Two
Langkah-langkah:
1.    Berilah peserta didik satu atau lebih pertanyaan yang membutuhkan refleksi dan pikiran.
2.    Mintalah peserta didik untuk menjawab pertanyaan sendiri-sendiri.
3.    Setelah semua melengkapi jawabannya bentuklah kedalam pasangan dan mintalah mereka untuk berbagi jawaban dengan yang lain.
4.    Mintalah pasangan tersebut membuat jawaban baru untuk masing-masing pertanyaan dengan memperbaiki respon masing-masing individu.
5.    Ketika semua pasangan selesai menulis jawaban baru bandingkan jawaban dari masing-masing pasangan ke pasangan yang lain.

i.    TAI ( Team Assited Individualization  atau Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assited Individualization  atau Team Accelarated Instruction). Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut:
1.    Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
2.    Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
3.    Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
Hasil belajar siswa secara individual  didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok  saling memeriksa jawaban teman satu kelompok. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.  Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).

j.    Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD:
1.    Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2.    Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual sehingga akan diperoleh skor awal.
3.    Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5
4.    siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah).
5.    Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
6.    Bahan materi yang telah dipersiapkan  didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai  kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif  tipe STAD, biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
7.    Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. f.  Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa  secara individual.
8.    Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).

k.    CIRC ( Cooperative Integrated Reading and Composition)
CIRC adalah salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling efektif dalam pembelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa. Unsur – unsur CIRC adalah :
1.    Kelompok membaca
2.    Tim
3.    Kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan membaca.
Tahap – tahap kegiatannya adalah :
a.    Membaca berpasangan
b.     Menulis cerita yang bersangkutan dan tata bahasa cerita
c.    Mengucapkan kata – kata dengan keras.
d.    Makna kata
e.    Menceritakan kembali cerita.
f.    Ejaan
1.    Pemeriksaan oleh pasangan.
2.    Tes.
3.    Pengajaran langsung dan memahami bacaan.
4.    Seni berbahasa dan menulis terintegrasi.
5.    Membaca independen dan buku laporan.

l.    TGT ( Team Game Turnament)
Secara umum, TGT sama seperti STAD. Bedanya TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis – kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.Komponen – komponen TGT :
1) Presentasi di kelas
2) Tim
3) Game
4) Turnamen
5) Rekognisi tim

m.    Co-op Co-op
    Co-op co-op adalah sebuah bentuk group investigation yang menempatkan tim dalam kooperasi antara satu dengan yang lainnya (seperti namanya) untuk mempelajari sebuah topik di kelas.Langkah – langkah :
1.    Diskusi kelas terpusat pada siswa
2.    Menyeleksi tim pembelajaran siswa dan pembentukan tim.
3.    Seleksi topik tim.
4.    Pemilihan topik tim.
5.    Persiapan topik kecil.
6.    Presentasi topik kecil.
7.    Persiapan presentasi tim.
8.    Presentasi tim
9.    Evaluasi.

n.     Jigsaw II
Kunci metode jigsaw ini adalah interdependensi adalah tiap siswa bergantung kepada teman satu timnya untuk dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat penilaian.Beberapa modifikasi adalah sebagai berikut :
a.    Daripada membuat para siswa merujuk kepada materi naratif untuk mengumpulkaninformasi mengenai topik mereka, siswa juga bisa disuruh mencari serangkaian materi – materi perpustakaan atau kelas untuk mendapatkan informasi tersebut.
b.    Setelah para ahli menyampaikan laporan, mintalah siswa menuliskan esai atau memberikan laporan lisan daripada memberikan kuis.
c.    Anda juga bisa memberikan tiap tim topik yang unik untuk dipelajari bersama dan memberikan masing – masing anggota tim sebuah subtopik daripada sekedar menyuruh mereka mempelajari materi yang sama.

B.     Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem-Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah metode pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan (Duch, 1995).  Finkle dan Torp (1995) menyatakan bahwa PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.  Dua definisi di atas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan setiap suasana pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari.
PBM bermula dari suatu program inovatif yang dikembangkan di Fakultas Kedokteran Universitas McMaster, Kanada (Neufeld & Barrows, 1974).  Program ini dikembangkan berdasar kenyataan bahwa banyak lulusannya yang tidak mampu menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari dalam praktek sehari-hari.  Dewasa ini PBM telah menyebar ke banyak bidang seperti hukum, ekonomi, arsitektur, teknik, dan kurikulum sekolah.
Menurut Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”. H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru.. PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru.
Berdasarkan pendapat pakar-pakar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa PROBLEM BASED LEARNING (PBL) merupakan metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Sehingga dapat diartikan bahwa PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL. PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama ke arah pembelajaran tersebut.  Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.

1.    Latar Belakang Pentingnya Problem Based Learning (PBL)
Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa, sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik harus selalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa secara efektif dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi, sangat bergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Banyaknya teori dan hasil penelitian para ahli pendidikan yang menunjukkan bahwa pembelajaran akan berhasil bila siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Atas dasar ini munculah istilah Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA ). Salah satu pendekatan pembelajaran yang mengakomodasi CBSA adalah Pembelajaran Berbasis Masalah(PBL) dikembangkan dari pemikiran nilai–nilai demokrasi, belajar efektif perilaku kerja sama dan menghargai keanekaragaman dimasyarakat.
Pembelajaran berbasis masalah(PBL) bermaksud untuk memberikan ruang gerak berpikir yang bebas kepada siswa untuk mencari konsep dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan materi yang disampaikan oleh guru. Karena pada dasarnya ilmu Matematika bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki ketrampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar,mampu menerapkan berbagi konsep matematika untuk menjelaskan gejala alam dan mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan pada kehidupan sehari-hari.
Dengan menggunakan pendekatan PBL siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru saja, karena dalam hal ini guru sebagai motivator dan fasilitator yang mengarahkan siswa agar terlibat secara aktif dalam seluruh proses pembelajaran dengan diawali pada masalah yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari. Karateristik PBL lebih mengacu pada aliran pendidikan kontruktivmisme, dimana belajar merupakanproses aktif  dari pembelajaran untuk membangun pengetahuan . proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan  yang telah dimiliki dan ini berlangsung secara mental.
Dalam pembelajaran guru harus dapat menciptakan lingkungan belajar sebagai suatu sistem sosial yang memiliki ciri proses demokrasi dan proses ilmiah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan jawaban terhadap praktek pembelajaran kompetensi serta merespon perkembangan dinamika sosial masyarakat. Selain itu pembelajaran berbasis masalah pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari pembelajaran kelompok. Dengan demikian, metode pembelajaran berbasis masalah memiliki karakteristik yang khas yaitu menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks belajar bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.
Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nur, “ Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti Project-Based Learning (Pembelajaran Proyek), Eksperience-Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic learning (Pembelajaran Autentik), dan Anchored instruction (Pembelajaran berakar pada dunia nyata)”. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pembelajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan secara inkuiri.

2.    Unsur-Unsur Problem Based Learning (PBL)
Pembelajaran Problem Based Learning mempunyai beberapa unsur-unsur yang mendasar  pada pendidikan sebagai berikut:
A.    Integrated Learning
•    Pembelajaran mengintegrasikan seluruh bidang pelajaran
•    Pembelajaran bersifat menyeluruh melibatkan aspek-aspek perkembangan anak
•    Anak membangun pemikiran melalui pengalaman langsung
B.    Contextual Learning
•    Anak belajar sesuatu yang nyata, terjadi, dan dialami dalam kehidupannya
•    Anak merasakan langsung manfaat belajar untuk kehidupannya
C.    Constructivist Learning
•    Anak membangun pemikirannya melalui pengalaman langsung (hand on experience)
•    Learning by doing
D.    Active Learning
•    Anak sebagai subyek belajar yang aktif menentukan, melakukan dan mengevaluasi (PLAN-DO-REVIEW)
E.    Learning Interesting
•    Pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan bagi anak karena anak terlibat langsung dalam  menentukan masalah.

3.    Fase-Fase Problem Based Learning (PBL)
PBL berlangsung dalam enam fase, yaitu:
Fase 1:
Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti untuk penyelesaiannya diperlukan infoemasi atau data lebih lanjut, memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan materinya.
Fase2:
Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan?  Dalam fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.  Kelompok akan mendiskusikan dan menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk diselidiki lebih lanjut.  Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan atau informasi baru muncul kepermukaan.


Fase 3:
Apa yang tidak diketahui dari permasalahan?  Disini anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu pembelajaran yang harus dijawab untuk menjelas permasalahan.  Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja.  Kegiatan ini seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi dicatat.  Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
Fase 4:
Alternatif Pemecahan.  Dalam fase ini anggota kelompok akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis.  Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu dilakukan oleh para anggota.  Dalam fase ini anggota kelompok akan menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.  Informasi tersebut dapat berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan, perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu.  Bila ada informasi baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
Fase 5:
Laporan dan Presentasi Hasil.  Pada fase ini, setiap kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya.  Laporan ini memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan uraian tentang alternatif tersebut.  Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang mereka ajukan.  Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan.  Laporan ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa.
Fase 6:
Pengembangan Materi.  Dalam fase ini guru akan mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam laporannya.
Dengan memperhatikan kegiatan pada setiap fase, para peserta didik menggunakan banyak waktunya untuk mendiskusikan masalah, merumuskan hipotesis, menentukan fakta yang relevan, mencari informasi, dan mendefinisikan isi pembelajaran itu sendiri.  Tidak seperti pembelajaran tradisional, tujuan pembelajaran dalam PBM tidak ditetapkan dimuka.  Sebaliknya, setiap anggota kelompok akan bertanggungjawab untuk membangun isi-isu atau tujuan berdasarkan analisa kelompok tentang permasalahan yang diberikan.

4.    Kelebihan Problem Based Learning/Model Pembelajaran Berbasis Masalah
•    Dengan PBL akan terjadi pembelajaran  bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik/mahapeserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan
•    Dalam situasi PBL, peserta     didik/mahapeserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
•    PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik/mahapeserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

5.    Langkah-langkah Operasional  dalam  Proses Pembelajaran
Konsep Dasar (Basic Concept)
Guru atau fasilitator  memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran. Langkah-langkah Operasional  dalam  Proses Pembelajaran
a.    Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan peserta didik melakukan berbagai kegiatan brainstorming dan semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat.

b.    Pembelajaran Mandiri (Self Learning)
Peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan.

c.    Tahap investigasi (investigation)
Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu:
1.    agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas
2.    informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.

d.    Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
e.    Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian.

6.    Contoh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning)
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, peserta didik terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian peserta didik diminta mencatat masalah-masalah yang muncul. Setelah itu tugas guru adalah meransang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan peserta didik untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan pendapat yang berbeda dari mereka.
Contoh Penerapan
Memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan peserta didik, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar diluar kelas. Peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

7.    Sistem Penilaian Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.

Sistem Penilaian
Penilaian pembelajaran dengan PBL dilakukan dengan authentic assesment. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan peserta didik yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian dalam pendekatan PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment.
Self-assessment. Penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar.
Peer-assessment. Penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya.

C.    Kolaboratif
1.    Latar Belakang Munculnya Model Kolaborasi
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu:
1.    Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata.
2.    Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah:
1.    Siswa hendaknya aktif, learning by doing.
2.    Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik.
3.    Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap.
4.    Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa.
5.    Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting.
6.    Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):
1.    Belajar itu aktif dan konstruktif
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.
2.    Belajar itu bergantung konteks
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
3.    Siswa itu beraneka latar belakang
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latarbelakang, gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
4.    Belajar itu bersifat sosial
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun makna yang diterima bersama.
Menurut Piaget dan Vigotsky, Strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya tiga teori, yaitu:
1.    Teori Kognitif
Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.
2.    Teori Konstruktivisme Sosial
Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan  individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semu anggota semua kelompok.
3.    Teori Motivasi
Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar, menambah keberanian anggota untuk memberi pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.
Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa belajar lebih baik jika mereka berpikir secara kelompok, menurut  pikiran mereka maka oleh sebab itu menjelaskan sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan keras. Piaget juga berpendapat bila suatu kelompok aktif klompok tersebut akan melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih menarik (Smith, B.L. and Mac Gregor, 2004).

2.    Tujuan Model Kolaborasi
Dalam penerapan pembelajaran kolaborasi, terdapat pergeseran peran si belajar (MacGregor, 2005):
1.    Dari pendengar, pengamat dan pencatat menjadi pemecah masalah yang aktif, pemberi masukan dan suka diskusi.
2.    Dari persiapan kelas dengan harapan yang rendah atau sedang menjadi ke persiapan kelas dengan harapan yang tinggi.
3.    Dari kehadiran pribadi atau individual dengan sedikit resiko atau permasalahan menjadi kehadiran publik dengan banyak resiko dan permasalahan.
4.    Dari pilihan pribadi menjadi pilihan yang sesuai dengan harapan komunitasnya.
5.    Dari kompetisi antar teman sejawat menjadi kolaborasi antar teman sejawat.
6.    Dari tanggung jawab dan belajar mandiri, menjadi tanggung jawab kelompok dan belajar saling ketergantungan.
7.    Dahulu melihat guru dan teks sebagai sumber utama yang memiliki otoritas dan sumber pengetahuan sekarang guru dan teks bukanlah satu-satunya sumber belajar. Banyak sumber belajar lainnya yang dapat digali dari komunitas kelompoknya.
Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada metode pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama. Pengertian kolaborasi sendiri yaitu:
1.    Keohane berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain, kerja sama, bekerja dalam begian satu team, dan di dalamnya bercampur didalam satu kelompok menuju keberhasilan bersama.
2.    Patel berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan fungsional dalam mencoba untuk keterampilan koordinasi, to coordinate skills, tools, and rewards.
Dari pengertian kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam kelompok ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar siswa.
Dari uraian diatas, kita bisa mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar kolaboratif yaitu bagaimanacara agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi adanya kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut :
1.    Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara alamiah di antara para siswa.
2.    Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
3.    Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
4.    Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam proses belajar.
5.    Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah.
6.    Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan bermacam-macam sudut pandang.
7.    Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
8.    Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
9.    Membangun semangat belajar sepanjang hayat.

3.    Langkah-Langkah Pembelajaran Kolaboratif
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif :
a.    Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri.
b.    Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
c.    Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
d.    Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
e.    Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
f.    Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
g.    Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
h.    Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.

4.    Macam-Macam Pembelajaran Kolaboratif
Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu :
1.    Learning Together
Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
2.    Teams-Games-Tournament (TGT)
Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
3.    Group Investigation (GI)
Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
4.    Academic-Constructive Controversy (AC)
Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
5.    Jigsaw Proscedure (JP)
Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
6.    Student Team Achievement Divisions (STAD)
Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok.
7.    Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
8.    Team Accelerated Instruction (TAI)
Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
9.    Cooperative Learning Stuctures (CLS)
Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
10.    Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model pembelajaran kolaboratif adalah:
1.    Pembentukan kelompok
2.    Bekerja dalam satu kelompok
3.    Pemecahan masalah kelompok
4.    Manajemen perbedaan kelompok
Menurut Reid (2004) dalam menggembangkan collaborative learning ada lima tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
1.    Engagement
Pada tahap ini, pengajar melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa dikelompokkan yang di dalamnya terdapat siswa terpandai, siswa sedang, dan siswa yang rendah prestasinya.
2.    Exploration
Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas, misalnya dengan memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan masalah yang diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya.
3.    Transformation
Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu setiap anggota saling bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, siswa yang semula mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan prestasinya karena adanya proses transformasi dari siswa yang memiliki prestasi tinggi kepada siswa yang prestasinya rendah.
4.    Presentation
Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan presentasi, maka kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi.
5.    Reflection
Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar kelompok. Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan, tanggapan ataupun sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain, anggota kelompok harus bekerjasama secara kompak untuk menanggapi dengan baik.
Brandt (2004) menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar kerjasama dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :
1.    Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)
Yaitu siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan mereka peduli pada belajar siswa yang lain. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab menguasai bahan pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses.
2.    Verbal, face to face interaction (interaksi langsung antarsiswa)
Yaitu hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Siswa juga harus menjelaskan, berargumen, elaborasi, dan terikat terhadap apa yang mereka pelajari sekarang untuk mengikat apa yang mereka pelajari sebelumnya.
3.    Individual accountability (pertanggungjawaban individu)
Yaitu setiap kelompok harus realis bahwa mereka harus belajar. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok.
4.    Social skills (keterampilan berkolaborasi)
Yaitu keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif. Siswa harus belajar dan diajar kepemimpian, komunikasi, kepercayaan, membangun dan keterampilan dalam memecahkan konflik.
5.    Group processing (keefektifan proses kelompok)
Yaitu kelompok harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan secara bersama dan bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik. Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang perlu diubah.Tiga pola pengelompokkan, yaitu  :
1.    The two-person group (tutoring)
Yaitu satu orang ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan sebagai pengajar yang disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.
2.    The small group (interactive recitation; discussion)
Adalah cara penyampaian baha pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah.
3.    Small or large group (recitation)
Yaitu suatu metode mengajar dan pengajar memberikan tugas untuk mempelajari sesuatu kepada pembelajar, kemudian melaporkan hasilnya. Tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar dapat dilaksanakan di rumah, sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di tempat lain.Karakteristik dalam belajar kolaboratif adalah :
1.    Siswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa ketergantungan dalam proses belajar, penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua anggota bekerja bersama.
2.    Interaksi intensif secara tatap muka antar anggota kelompok.
3.    Masing-masing siswa bertanggung jawab terhadap tugas yang telah disepakati.
4.    Siswa harus belajar dan memiliki ketrampilan komunikasi interpesonal.
5.    Peran guru sebagai mediator.
6.    Adanya sharing pengetahuan dan interaksi antara guru dan siswa, atau siswa dan siswa.
7.    pengelompokkan secara heterogen.

5.    Kelebihan dan Kekurangan
a.    Kelebihan
•    Siswa belajar bermusyawarah
•    Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
•    Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
•    Dapat memupuk rasa kerja sama
•    Adanya persaingan yang sehat
b.    Kelemahan
•    Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.
•    Membutuhkan waktu cukup banyak.
•    Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
•    Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.

D.    Model pembelajaran Discovery learning
Model Discovery Learningdidefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final  form, but rather is required to organize it him self”. Ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind.
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic.
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.
a.    Fakta Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran.
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan, antara lain :
1) Kelebihan Penerapan Discovery Learning.
•    Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
•    Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
•    Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
•    Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
•    Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
•    Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
•    Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
•    Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
•    Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
•    Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
•    Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
•    Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
•    Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
•    Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
•    Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
•    Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
•    Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
•    Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
2) Kelemahan Penerapan Discovery Learning.
•    Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
•    Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
•    Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
•    Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
•    Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
•    Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

b.    Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran.
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning dalam kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

c.    Penilaian pada Model Pembelajaran Discovery Learning.
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa dapat menggunakan nontes.

E.    Model pembelajaran Inqury learning
Indrawati (1999:9) menyatakan, bahwa suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berfikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Menurut Downey (1967) dalam Joyce (1992:107) menyatakan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat di implementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar meliputi apa yang diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah model pembelajaran inkuiri.
Seperti yang dikutip oleh Suryosubroto (1993:193), menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inkuiri, atau inkuiri merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang dalam bahasa inggris inquiry, berarti pernyataan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo (2002),Menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal sleuruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, dan (3) mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri.
1.    Syarat Timbulnya Kegiatan Inkuiri bagi Siswa dan Peran Guru
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah :
1.    Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi
2.    Inkuiri berfokus pada hipotesis dan
3.    Penggunaan fakta sebagai evidensi
Susunan kelas yang nyaman merupakan hal yang penting dalam pembelajaran inkuiri karena pertanyaan-pertanyaan harus berasal dari siswa agar proses pembelajaaran dapat dicapai dengan baik. Kerja sama guru dengan siswa, siswa dengan siswa diperlukan juga adanya dorongan secara aktif dari guru dan teman.Untuk menciptakan kondisi seperti itu peran guru adalah sebagai berikut :
1.    Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berfikir
2.    Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan
3.    Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat
4.    Administrator, bertanggung jawab dalam seluruh kegiatan kelas
5.    Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan
6.    Manager, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas
7.    Rewarder, pemberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa
Pembelajaran inkuiri menurut Suchman, peran guru memonitor pertanyaan siswa untuk mencegah agar proses inkiri, tidak sama dengan permainan tebakan . Hal ini memerlukan dua aturan penting yaitu ;
1.    Pertanyaan harus dapat dijwab ya atau tidakdan harus diucapkan dengan suatu cara agar siswa dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan pengamatan.
2.    Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan guru memberikn jawaaban pertanyaan tersebut tetapi mengarahkan siswa untuk menemukan jawaban sendiri.
Munandar (1990:47),  mengemukakan beberapa perumusan kretifitas adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia , menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dimana penekannanya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan beragam jawaban”. Makin banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap suatu masalah, makin kreatif seseorang. Tentu saja jawaban itu harus sesuai dengan masalahnya. Jadi tidak semata-mata banyaknya jawaban yang dapat diberikan yang menentukan kreatifitas seseorang, tetapi juga kualitas atau mutu dari jawabannya. Kreativitas pada anak perlu dikembangkan karena dengan berkreasi anak dapat mewujudkan dirinya sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, memberikan suatu kepuasan kepada individu dan memungkinkan meningkatkan kualitas hidupnya.
Ciri perkembangan afektif, yaitu menyangkut sikap dan perasaan, motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, misalnya rasa ingin tahu, tertarik terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan siswa sebagai tantangan, berani mengambil resiko untuk membuat kesalahan atau dikritik siswa lain, tidak mudah putus asa, menghargai diri sendiri maupun oranglain (Munanadar, 1990:51).
2.    Fase-Fase Pembelajaran Inkuiri
Gulo (2002) menyatakan bahwa inquiry tidak hanya mengembangkan kemampuan dan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada termasuk pengembangan emosional dan ketrampilan inquiry merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskn masalah, merumuskan hipotesis , mengumpulkan data, menganalisis data dan membuat kesimpulan
Sistem belajar-mengajar ini dikembangkan oleh Bruner. Landasan pemikiran yang mendasari pendekatan belajar-mengajar ini adalah bahwa hasil belajar dengan cara  ini lebih mudah dihaffal dan diingat, mudah ditransfer (untuk menghadapi pemecahan masalah). Pengetahuan dan kecakapan (intellectual potency) peserta didik yang bersangkutan lebih jauh lagi dapat menumbuhkan motif intrinsik (karena peserta didik puas akan penggunaannya sendiri.Tahapan Pembelajaran Inkuiri
1.    Menyajikan pertanyaan atau masalah
Guru membimbing siswa mengidentifikasi masalah dan maslah. Guru membagi siwa dalam kelompok
2.    Membuat hipotesis
Guru memberikan kesempatan bagi tiap siswa untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis. Guru membibing siswa dalam membuat hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan.
3.    Merancang percobaan
Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah percobaan.
4.    Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi
Guru membimbing siswa mendapatkan informasi melalui percobaan.
5.    Mengumpulkan dan menganalisis data
Guru memberikan kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul.
6.    Membuat kesimpulan (generalisasi)
Guru membimbing siswa dalam mambuat kesimpulan. 
3.    Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inquiry dengan metode Suchman menggunakan pertanyaan-pertanyaan yandiajukan kepada siswa sebagai alternative untuk prosedur pengumpulan data. Inkuiri Suchnan seperti yang dikutip oleh Kardi (2003:10) mempunyai 2 kelebihan yaitu :
1.    Penelitian dapat diselesaikan dalam waktu satu periode pertemuan. Waktu yang singkat ini memungkinkan siswa dapat mengalami siklus inkiri dengan cepat, dan dengan pelatihan merekaakan terampil melakukan inkuiri
2.    Lebih efektif dalam semua bidang di dalam kurikulum.Pendekatan pembelajaran ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya ialah antara lain; memakan waktu banyak (time consuming), dan kalau kurang terpimpin dan terarah, dapat menjurus pada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajarinya.


Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi