Pengertian Pasien dan Dokter

Tags:
A.1. Pasien

Menurut Pasal 1 (ayat 10) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyebutkan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
A.2. Dokter

Menurut Pasal 1 (ayat 2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang  praktik  kedokteran  menyebutkan  Dokter  dan  dokter  gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.
B. Malpraktik

Dalam transaksi terapeutik yang telah dibahas sebelumnya, dinyatakan bahwa hubungan dokter-pasien terjadi karena ada objek yang diperjanjikan (sesuai dengan Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu yang tidak terpenuhi. pada saat prestasi yang dijanjikan tidak memenuhi salah satu hak (biasanya hak pasien) terlanggar.


Maka terjadilah dengan apa yang disebut ingkar janji atau wanprestasi yang dikalangan medik disebut malpraktik medik. Istilah malpraktik selalu diidentikkan terhadap profesi medis padahal malpraktik ini diperuntukkan pada suatu profesi yang melakukan kesalahan (wrong doing) dalam menjalankan profesinya. Definisi malpraktik tidak ditemukan dalam peraturan perUndang-Undangan di Indonesia seperti UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit ataupun UU Perlindungan Konsumen  sehingga  definisi malpraktik dapat diambil berdasarkan pakar hukum3  seperti yang terlihatdari beberapa definisi tentang malpraktik dibawah ini:

a.   Coughlin’s Dictionary of Law
Malpractice is professional misconduct on the part of professional person, such a physician engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice maybe a result of ignore, neglect, or lack of skill or fidelity in the professional duties; intentional wrong doing; or unethical practice4.

b.   Stedman’s Medical Dictionary
Malpractice is mistreadment of disease or injury through ignorance of criminal intent5

c.   Black’s Law Dictionary
Malpractice is any professional misconduct, unreasonable lack of skill.  This  term is  usually  applied  to  such  conduct by  doctors, lawyers, and accountants. Failure of onerendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumtance in the community by the average prudent  reputable  member  of  the  profession  with  the  result  of injury, loss, or damage to the resipient of those entittled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreannable lack of


3Suryadhimirta, Rinanto, 2011, Hukum Malpraktik Kedokteran, Yogyakarta, Total Media, hlm. 13.
4Ameln, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Grafikatama Jaya, hlm.
83.
5Guwandi, J, 2007, Medical Law (Hukum Medik), Jakarta, Balai Penerbit FKUI, hlm. 22-
23.


skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice or legal or immoral conduct.6

d.   The Oxford Illustrated Dictionary,       ed, 1975
Malpractice is wrong doing; (law) improper treatment of patient by
medical  attendent;  illegal  action  for  one’s  own  benefit while  in
position of trust.7

Dari beberapa definisi diatas, untuk dapat dikatakan bahwa suatu malpraktik   (kunstfout)   adalah   bila   seorang   dokter   tidak   dapat memenuhi standar profesi kedokterannya8, yaitu batasan kemampuan (knowledge,  skill,  and  professional  attitude)  minimal  yang  dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya dalam masyarakat yang dibuat oleh organisasi profesi (Permenkes   No. 512/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran Pasal 1 poin 9).
Berdasarkan rumusan Leenen, seorang pakar hukum dari Belanda menyatakan batasan unsur-unsur pada standar profesi kedokteran harus memenuhi unsur-unsur berikut :
1.    Berbuat  seca  secara teliti  dan  seksama  (zorgvuldig  handelen), dikaitkan  dengan  culpa/kelalaian  sehingga  bial  seorang  dokter tidak bekerja secara hati-hati, maka dia sudah memenuhi unsur kelalaian.
2.   Seorang dokter harus bekerja sesuai dengan ukuran ilmu medik
(volgens  de  medische  standaart),  maksudnya    seorang  dokter yang  berpraktik  harus  melaksanakan  tugasnya  sesuai  dengan keilmuannya

6Guwandi, J, 2007, ibid, hlm. 23-24.
7Guwandi, J, 2007, ibid.
8Fred, Ameln, 1991, op-cit, hlm. 87.


wewenang dan kompetensinya, misal seorang dokter umum tidak boleh melakukan tindakan sectio caesaria, walaupun dia sanggup atau mampu mengerjakannya berdasarkan pengalamannya membantu dokter ahli kebidanan dan kandungan.
3.    Harus  mempunyai  kemampuan  rata-rata  (average)  dibanding kategori keahlian medik yang sama  (gemiddaelde bewaamheid van gelijke medische categori), maksudnya adalah bila seorang dokter umum  dinyatakan  berbuat  suatu  kelalaian,  maka    yang menyatakan  dia  berbuat  kelalaian  adalah  dokter  umum  juga, bukan dokter ahli atau dokter spesialis.
4.    Bila seorang dokter dinyatakan telah melakukan suatu kelalaian, maka ukurannya adalah situasi dan kondisi yang sama terhadap sejawat  yang  menilainya  (gelijke  omstandigheden),  maksudnya bila seorang dokter puskesmas pedalaman dinyatakan melakukan kelalaian yang merugikan pasien, maka harus dibandingkan dengan dokter umum yang lebih kurang situasi dan kondisi puskesmasnya mirip atau serupa dengan puskesmas dokter yang dituduh, jadi tidak bisa dibandingkan dengan dokter puskesmas yang bekerja di lingkup puskesmas perkotaan, yang mungkin saja pada saat menangani pasien yang kritis yang serupa dengan situasi dan kondisi dokter puskesmas pedalaman, dokter puskesmas perkotaan masih sempat dan memungkinkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit.


5.    Sarana  dan  upaya  yang  sebanding  dan  proporsional  dengan tujuan dan tindakan medik tersebut, maksudnya bila seorang dokter puskesmas dengan segala sarana dan upaya yang sederhana melakukan suatu tindakan yang dianggap menyebabkan kelalaian, maka yang harus menilainya adalah dokter puskesmas juga yang kira-kira mempunyai sarana dan upaya yang mirip atau serupa dengan dokter puskesmas yang dituduh, bukan dibandingkan dengan dokter umum yang bertugas
dirumah sakit besar9.

Jadi kelima unsur tersebut yang harus dipakai untuk menguji apakah seorang dokter melakukan suatu malpraktik atau tidak.
Untuk mengenal lebih dalam lagi tentang istilah malpraktik, maka harus dimengerti bahwa  malpraktik adalah  hasil  yang  tidak sesuai dengan obyek transaksi terapeutik yang dilihat dari sisi pasien. Dan yang perlu diingat dan digaris bawahi pada transaksi terapeutik adalah seorang dokter tidak menjanjikan hasil dari objek perjanjian itu (resultaats verbintenis). Jadi yang bisa dilihat adalah apakah selama proses upaya maksimal untuk menangani masalah kesehatan pasien (inspaning verbintenis). Jadi yang bisa dilihat adalah apakah selama proses paya pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter sudah memenuhi  kaidah–kaidah  keilmuwan  baik  secara  moral  (attitude), keterampilan   (skill)   maupun   keilmuwan   termasuk   aturan–aturan/ regulasi yang diatur oleh pemerintah ( knowledge ) sehingga bisa selama proses tersebut sudah memenuhi unsur-unsur standar profesinya, maka




9Fred, Ameln, 1991, ibid, hlm. 87-88.

dia tidak dapat dipersalahkan bila terjadi suatu hasil negatif atau hasil buruk yang didapat oleh pasien karena dalam hal ini dokter bukanlah tuhan. Inilah yang harus dipahami oleh kalangan awam/ nonmedik. Hal ini harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan standar kriteria yang pasti untuk menilai suatu tindakan medik disebabkan perbedaan situasi dan kondisi serta kondisi fisik para pasien yang berbeda  –  beda yang dapat memberikan  reaksi yang berbeda walaupun diberikan terapi yang sama.
Di  dalam  defenisi  malpraktik  terdapat  dua  istilah  yang  harus dibedakan, yaitu kesalahan dan kelalaian :
1.   Kesalahan (dolos, intentional, vorstz, willens en wetens hadelen)

a.   Dalam arti luas

Semua tindakan medis atau yang berhubungan dengan ruang lingkup medis yang dilarang secara langsung oleh undang – undang, seperti : aborsi (abortus provokatus kriminalis), euthanasia, pemalsuan dokumen medis, pemberian surat keterangan sakit atau sehat palsu, tidak memberikan pertolongan gawat darurat.
b.   Dalam arti sempit

Bahwa tindakan yang dilakukannya berdasarkan adanya unsur kesengajaan yang dapat dilihat dari tindakannya yang terarah,


dengan  hasil  yang  sudah  diketahui,  adanya  aturan  hukum yang melarangnya dan kadang–kadang didasari dengan motivasi bayaran.
2.   Kelalaian (culpa, negligence)

a.   Dalam arti luas

Pekerjaan dokter sudah sesuai dengan standar profesi dan yang diperbolehkan oleh undang–undang, tetapi kadang– kadang bekerja di bawah standar dengan tidak hati–hati serta tidak melaksanakan kewajiban memenuhi hak pasien, seperti memberikan informed consent, menjaga rahasia jabatan, tidak memberikan rujukan, dan lain–lain.
b.   Dalam arti sempit

Semua tindakan tersebut tidak ada motif serta tidak ada unsur kesengajaan  dan  semata-mata  karena kealpaan  atau kelalaian seseorang dokter dengan tidak hati-hati atau sembrono dalam mengerjakan tindakan medik yang sebenarnya  akibat  yang  timbul  tidaklah  diharapkan,  seperti
tertinggal kassa pada saat operasi10.

Secara ringkas dapat dikelompokkan berdasakan berat ringannya tingkat malpraktik, mulai dari yang ringan sampai yang berat :
1.   Error of judgement (kesalahan penilaian).

2.   Slight negligence (kelalaian ringan).




10Guwandi, J, 2007, op.cit, hlm. 21.


3.   Gross negligence (kelalaian berat).

4.    Intentional  wrong  doing  atau  criminal  intent  (tindakan  dengan kesengajaan atau yang bersifat kriminal)11
Untuk poin 1 dan 2, malpraktik yang dilakukan bisa digugat secara perdata dan yang murni pidana adalah kelompok 4, tetapi kelompok 3 juga bisa masuk ke ranah pidana bila terbukti seorang dokter melakukan suatu tindakan secara tidak hati-hati serta dibawah standar profesi yang ditentukan mengakibatkan kecacatan atau kematianpada pasien (sudah memenuhi beberapa Pasal dalam KUHP).
Khusus untuk kelalaian, dapat juga dibagi beberapa tingkat jenis kelalaian, yaitu :
1.    Culpa  levissima  (slight  fault  or  neglect)  yang  berarti  kelalaian ringan.
2.   Culpa levis (ordinary fault or neglect) yang berarti kelalaian biasa.

3.   Culpa lata (gross fault or neglect) yang berarti kelalaian serius12

Tindakan   medik   adalah   tindakan   profesional   oleh   dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan.13  Meski memang harus dilakukan, tetapi tindakan medik tersebut   ada   kalanya   atau   sering   dirasa   tidak   menyenangkan.
Tindakan medik adalah suatu tindakan yang seharusnya hanya boleh


11Guwandi, J, 2007, Medical Error dan Hukum Medis, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, hlm.
66-67.
12Fred, Ameln, 1991, op.cit, hlm. 94.
13Samsi Jacobalis, 2005. Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika. CV. Sagung Seto bekerja sama dengan Universitas Tarumanegara, Jakarta, hlm. 49.


dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu di tujukan terutama bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan   tersebut   berdasarkan   pertimbangan   atas   beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan.14
Sedangkan   menurut   Budi   Sampurno15,   dalam   melakukan tindakan medik yang merupakan sesuatu keputusan etik, seorang dokter harus :


14Tindakan medik harus dilakukan oleh tenaga medik. Dalam hukum positif di Indonesia, kita membedakan antara tenaga medik dan tenaga kesehatan. Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kesehatan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 1992 Tentang Kesehatan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan  diri  dalam  bidang  kesehatan  serta  memiliki  pengetahuan dan/keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan tenaga medik adalah mereka yang profesinya dalam bidang medik, yaitu dokter, baik physician (dokter fisik = dokter) maupun dentist (dokter gigi). Para dokter tersebut berpraktik mungkin sebagai general practitioner atau spesialis, tergantung keahlian masing-masing.  Jadi  ada  dokter  fisik  spesialis  dan  dokter  gigi  spesialis.  Apabila tindakan medik itu dilakukan oleh mereka yang tidak berwenang untuk melakukannya maka digolongkan sebagai tindak pidana. Akan tetapi apabila tindakan tersebut ditujukan untuk membantu tenaga medik maka dapat dijalankan sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Safitri Haryani, 2005.  Sengketa Medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien. Diadit Media, Jakarta, hlm. 37.
15Budi Sampurno, 2008. Konflik Etik dan Medikolegal di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Lokakarya Nasional Hukum dan  Etika Kedokteran. Makassar, 26-27 Januari 2008.    Proceeding. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Makassar.


1. Mempertimbangkan   nilai-nilai   yang   hidup   di   dalam masyarakat, profesi dan pasien.
2. Mempertimbangkan   etika,   prinsip-prinsip   moral,   dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang di hadapi.

Secara  material,  menurut  Danny Wiradharma,  suatu  tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
1.  Mempunyai  indikasi  medik,  untuk  mencapai  suatu  tujuan yang kongkret.
2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran.
3.  Sudah mendapat persetujuan dari pasien.


Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak secara le artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.
Hubungan keperdataan timbul karena adanya suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk memberikan pertolongan, dan dalam perjanjian tersebut diikatkan beberapa persyaratan, dan apabila persyaratan tersebut tidak penuhi oleh salah satu pihak maka terhadap pihak yang tidak memenuhi persyaratan tadi dapat diajukan gugatan.


Pada umumnya persyaratan dalam hubungan perjanjian antara pasien-dokter tidak secara eksplisit dituangkan dalam perumusan persyaratan perjanjian, namun dianggap telah terkandung di dalamnya sesuai dengan etik yang mengikuti dokter dalam menjalankan profesi jabatannya. Dalam hubungan tersebut pengertian informasi pasien merupakan suatu bentuk umum penerangan pasien pada  umumnya.16   
Dalam  hukum  perdata,  tindakan  medik  yang dilakukan dokter merupakan pelaksaan perikatan yang dibuat antara dokter dan pasien yang pada hakikatnya merupakan perikatan (transaksi tera-peutik), serta hubungan karena Undang-Undang (zaakwarneming).17
Dalam hukum administratif yang berkaitan dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medik adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI No. Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi  Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan  bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.18




16Hermien Hadijati Koeswadji, 1984. Hukum dan Masalah Medik. Airlangga University
Press, Surabaya, hlm. 59.
17Safitri  Haryani, 2005.  Sengketa  Medik,  Alternatif  Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter dengan Pasien. Diadit Media, Jakarta, hlm. 63
                 18Petunjuk Teknis Praktik Kedokteran, 2005. CV. Eka Jaya, Jakarta.
Guwandi menyebutkan bahwa seorang dokter dalam melakukan tindakan medik haruslah berdasarkan empat hal, yaitu :19
                1. Adanya indikasi medik;

                    2. Bertindak secara hati-hati;

                   3. Bekerja berdasarkan standar profesi medis dan prosedur opersional;
                    4. Ada persetujuan Tindakan Medik (informed Consent).


Syafruddin Wahid menyebutkan empat hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan timbulnya sengketa medik dengan pasien :20

1.  Dokter harus memahami apa yang legal dan apa yang tidak legal untuk dilakukan dokter berkaitan dengan pekerjaan/profesi dokter;
2.  Dokter  harus  memahami  resiko-resiko  hukum  yang  ada terkait dengan profesi dokter;
3.  Melaksanakan semua aturan administrasi berkaitan dengan praktik dokter;
4.  Melindungi  profesi  dari  kemungkinan-kemungkinan  adanya

Post a Comment

Artikel Terkait Tips Motivasi